BETWEEN EMPOWERMENT AND MICRO-MANAGEMENT

Hasil gambar untuk empowerment micro management




Saya sedang mengemudikan mobil saya sendirian ketika handphone saya berbunyi.
Saya melihat telephone itu dari Lia, seorang kolega saya yang menjadi HR Leader di sebuah perusahaan Eropa.
"Mas Pam ... I need your advise. Can I meet you now?"
Okay, dan bertemulah kami malam itu di Kemang Village.
Sambil menunggu pesanan kami datang, Lia pun tak sabar dan memulai ceritanya ....

Seperti banyak case di matrix organization, Lia punya 2 atasan: 
Regional HR Directornya untuk Asia Pacific (based di Kuala Lumpue) dan CEO nya yang di Jakarta.
Regional HR Director nya sih  ok dan sangat percaya kepada Lia. Dan he really empower Lia.
Yang menjadi masalah adalah CEO nya yang di Jakarta, sebut saja namanya Larry.

He is like the worst boss ever. Gak percayaan. Micro manage. 
Dan setiap kali meminta update dari task yang harus dikerjakan, setiap hari.
Lia merasa diperlakukan seperti anak kecil, nggak dipercaya.
Bahkan Larry bukan hanya menerangkan objective yang harus dicapai, tetapi juga menerangkan detail step by step yang harus dikerjakan oleh Lia.

Dan Lia pun mengeluh,
"I know how to do those tasks.  Kalau akhirnya Larry ingin menerangkan every single step, kenapa mereka tidak merekrut orang yang jauh lebih junior daripada saya? Saya merasa tidak dihargai and it's like an insult to my intellectual capacity"
Lia menghela nafas panjang sambil minum seteguk ice lemon tea yang dia pesan.

Kita bahas kasus ini yuk.
Memang sebagai atasan kita bertanggung jawab agar objective bisnis kita tercapai.
Makanya kalau kita memberi tugas ke anak buah kita, seringkali kita sendiri juga deg degan... wah nanti selesai nggak ya? Salah nggak ya? Bener nggak ya?
Dan itu seringkali membuat kita gelisah.
Jadi ada benarnya juga Larry mengecek secara regular dan menjelaskan setiap langkah yang harus dilakukan ke Lia.
Secara niat, memang Larry benar. Tetapi kita tahu meskipun niatnya baik, tetapi hal itu ternyata membuat Lia frustasi.

Padahal kalau kita tidak menjelaskan dengan detail, ada anak buah yang akan bilang," Ini gimana sih bos gua. Cuma kasih tahu apa yang harus dicapai, tapi nggak ngasih tahu bagaimana caranya?"
Wah kayaknya begini salah begitu salah...

Lha terus bagaimana dong?
Tentu saja semuanya harus dipikirkan sesuai situasi.
Ternyata teknik yang sama tidak bisa diterapkan di semua situasi.
Ternyata kalau kita salah membaca situasi dan menerapkan teknik yang salah kita bisa bisa membuat anak buah kita frustasi.

Analogy sederhana adalah pada saat kita mengajari anak kita naik sepeda, pertama kali kita harus banyak banyak memberi instruksi dan memberikan support yang sering.
Kemudian, anaknya sudah mengerti instruksinya tetapi kita harus sering sering mensuppport, lama lama dia sudah jago naik sepeda, kita tinggal bilang tolong belikan minyak di warung, dia sudah mengerti. Anda tidak usah memberikan instruksi yang jelas lagi, anda sudah tidak perlu mensuppport lagi.
Anda tinggal menunggu di rumah dan sebentar lagi dia akan pulang dan membawa minyak yang anda minta. Masak kalau anaknya sudah jago naik sepeda anda masih juga kasih tahu bahwa dia harus memegang setang sepeda dan baru mulai memancal pedal? Anak anda akan marah kan?
Just tell him that dia perlu beli minyak di warung and he will get things done.

Sama, kalau anda punya anak buah yang sudah senior ya tidak usah diajari satu per satu lagi dan (terutama) tidak usah dikontrol dengan micro management lagi. Don't worry, he will get things done.
Lain dengan kalau anda punya anak buah yang masih junior, berarti anda harus banyak memberi instruksi dan sering sering mengontrol.

By the way, junior atau senior  sebenarnya bukan masalah usia atau lama bekerja di sebuah perusahaan ya.
Ini berhubungan dengan ability (atau kemampuannya) mengerjakan sebuah task dengan competency tertentu.
Nah semakin advanced competence level nya berarti semakin sedikit instruksi yang harus diberikan dan semakin jarang kontrol dan pengecekan dilakukan.
Jadi bagaimana sih menilai competence level seseorang?

Ada 5 level yang bisa digunakan.
- Level 1 : Learner, baru belajar, masih belum banyak yang bisa dilakukan sendiri
- Level 2: Practitioner, sedang latihan (practice), ada sebagian yang bisa dikerjakan, sebagian lagi masih memerlukan bantuan
- Level 3: Independent, semua pekerjaan (dalam lingkup kompetensi terkait) bisa dilakukan
- Level 4: Coach, semua pekerjaan bisa dilakukan dan bisa mengajari orang lain
- Level 5: Innovator, bisa mengajari orang lain, dan bisa menciptakan hal hal baru yang membawa business impact

Nah ... kita coba dengan skala competence level tersebut kita mengassess anak buah kita dan kemudian kita menyesuaikan jumlah instruksi dan frekwensi supervisi sesuai levelnya.
Ingat semakin rendah levelnya berarti semakin banyak instruksinya dan semakin sering supervisinya.
Berarti semakin tinggi levelnya semakin sedikit instruksinya dan semakin jarang supervisinya, anda tinggal memberitahu tujuan akhirnya, he will know how to get things done.

Lha terus bagaimana seandainya anda mempunyai anak buah yang seperti Lia?
Yang memang (dalam hal hal tertentu) competence level nya sudah tinggi?
Jangan menggunakan micro management (banyak instruksi, sering disupervisi), anda harus beralih ke empowerment. Meng-empower dia untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap konsekswensi dari keputusan tersebut.
Sudah waktunya melepaskan anak burung dari kandangnya, lepaskan sayapnya , jangan dipegangi lagi.
Mungkin dia akan melakukan kesalahan. Wajar, karena memang mungkin baru pertama kali belajar mengambil keputusan sendiri (tanpa konsultasi ke atasannya).
Support dia, jangan dimarahin, dan bantu dia untuk belajar dari kesalahan tersebut.
That's the only way to learn.

Terus, bagaimana dong seorang boss yang baik harus meng-empower anak buahnya.
Perhatikan langkah-langkah di bawah ini:
1. Understand their career aspiration
Pahami aspirasi karier mereka, dan tunjukka  bahwa apa yang mereka lakukan akan bermanfaat dan membantu mereka mencapai apa yang mereka cita-citakan.

2. Clarify the objectives
Karena mereka harus mencari solusi sendiri, anda tidak perlu banyak memberikan instruksi.
Tetapi objective yang harus dicapai harus sejelas mungkin.

3. Clarify how their performance will be measured
Jelaskan bagaimana performance mereka akan diukur. Show how the success looks like.
Jelas akan what do they need to achieve dan juga how they have to achieve them.

4. Challenge them to their best.
Tell them that you trust them.
Katakan bahwa mereka mempunyai potensi lebih dari yang mereka sadari.
Jangan sampai cepat puas.
Mereka harus memiliki mental untuk terus menerus mencapai yang lebih tinggi.

5. Listen to their challenge and support them, if they come to you.
Anda tetap harus menyediakan waktu untuk mendengarkan masalah mereka dan tetap membantu mereka, apabila mereka memerlukan dan mendiskusikannya dengan anda.

6. Recognize their extra effort and reward them.
Your team members are human and you need to show your appreciation.
Boss, remember those 6 steps when you empower your team members.

Pambudi Sunarsihanto