NAGIH UTANG BIKIN GAMANG

Di suatu pagi usai Shubuh, dering whatsapp HP saya berbunyi. Dari seorang ibu yang tidak saya kenal secara dekat, dan isinya cukup membuat saya terperanjat:

“Say... bisa nyerempet duit ngga? 250 ribu aja ngga usah banyak-banyak..”

Saya bolak balik memastikan diri saya sendiri, bahwa si ibu tidak sedang salah kirim pesan. Di sisi lain saya juga khawatir jika whatsapp ibu tersebut dibajak orang. Tidak kenal dekat, menyapa “say” (yang mana bagi saya sapaan ini menunjukkan kedekatan dan keakraban) lalu tidak pernah saling ber-texting, sekalinya chatt hanya untuk pinjem duit?

Saya tidak percaya.

Akhirnya saya pun menghubungi ibu lain, yang saya nilai berteman karib dengan ibu tadi. Saya hanya ingin menanyakan, apakah HP si ibu tadi hilang, ataukah whatsapp-nya dibajak orang.

Belum juga saya tuntas bertanya, si ibu ini malah tertawa.
"Kenapa bu? Pasti dia mau ngutang ya?"

Saya diam. Keki.

"Udah biasa bu.. hampir semua yang dia kenal pernah digituin. Udahlah jangan dikasih..nggak bakal balik. Lagipula dia utang cuma buat gaya-gayaan doank.." Ibu ini mencoba memperingati saya.

Dalam hati saya sibuk bertanya. Masih tidak percaya dengan isi whatsapp tadi.

Mengapa? Untuk apa?

Mengapa saya yang dijadikan target, sementara ngobrol saja jarang.

Untuk apa ia pinjam uang, sementara saya tahu persis, rumahnya besar dan mobilnya pun keren.

Akhirnya saya ikuti saran si ibu kedua. Tidak memberi pinjaman, daripada nanti repot nagih utang.

****

Nagih Utang

Pernahkah berada pada posisi ini?

Dimana kita tidak tahu lagi, haruskah bersikap manis manja atau melolong bak serigala, demi uang yang sejatinya hak kita, dikembalikan kepada yang punya.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya lucu juga. Itu uang kita. Tapi untuk memintanya kembali, kadang diri jadi begitu nista mengiba-iba.

Sukur-sukur jika bertemu peminjam berakhlak baik. Ciri-cirinya: tidak mudah berhutang, sekalinya berhutang adalah untuk hal yang sangat mendesak, akad hutangnya jelas, mudah dihubungi, dan punya track record baik dalam mengembalikan pinjaman.

Tapi jika bertemu peminjam tipe kedua: berkunjung atau menelefon hanya ketika mau pinjem duit, penghasilan tidak jelas, terkenal punya tumpukan utang di sana-sini, lalu utang untuk memenuhi gaya hidup semata, siap-siap saja uang yang kita pinjamkan hangus tanpa sisa.

Maka ini pula hal yang sangat saya pegang: Meminjamkan uang, berarti menganggap uang itu hilang.

Kenapa? Agar pikiran saya tenang. Itu saja.

Di detik saya meminjamkan uang, di detik itu pula saya sudah menganggapnya hilang. Artinya, jika dikembalikan maka itu masih jadi hak saya, dan saya mensyukurinya. Namun jika tidak kembali karena saat ditagih si peminjam selalu berkelit, saya bisa lebih ikhlas dan tidak sakit hati.

Uang bisa dicari jika hilang.  Tapi sakit hati, jauh lebih susah disembuhkan.

Loh, bukannya dengan begini malah “ngenakin” si peminjam?

Heheheh... siapa bilang dia enak. Memakan harta orang lain, tak akan pernah bisa bikin bahagia, kawan. Dan dalam hidup kita yang sebentar ini, apa nggak nelongso sih kalau hati saja sudah tidak bahagia?

Mari bersama-sama mulai dari diri sendiri. Berhutang hanya jika utang ini benar-benar dibutuhkan, dan kita sendiri sudah berhitung kemampuan untuk melunasinya. Butuh, mampu (melunasi) dan niat (untuk menyegarakan pelunasan hutang)

Dan jika kebetulan kita ditodong utang dan sama sekali tidak bisa berkelit, anggaplah uang itu hilang.  Agar prosesi menagih utang dan lain sebagainya tidak perlu menggerus kebahagiaan.

Karena kita kini sudah berada pada suatu peradaban.

Dimana utang bikin orang ketagihan
Dan menagih utang serupa mengejar benang layangan

Lari-larian..
Sungkan..
Bosan..
Dan juga bikin jantungan.......

Wulan Darmanto