Sebuah renungan bagi calon pemimpin bangsa & negara kesatuan RI.
Perhatikan komentar Buya Hamka atas pemenjaraan dirinya oleh Bung
Karno,
"Saya tidak pernah
dendam kepada orang yang menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua
tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang
tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab
Tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya
untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”
Meskipun secara politik berseberangan, Soekarno tetap
menghormati keulamaan Hamka. Menjelang wafatnya, Soekarno berpesan, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka
untuk menjadi imam shalat jenazahku…”
Meskipun banyak yang tak setuju, Buya Hamka dengan ikhlas memenuhi
wasiat Soekarno memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke
penjara itu.
Bangsa ini dibangun oleh
para negarawan yang tegas tapi santun ...
Karena kritiknya yang tegas pada Orde Baru, Mohammad Natsir
bersama kelompok petisi 50 dicekal. Natsir dilarang untuk melakukan kunjungan
luar negeri seperti mengikuti Konferensi Rabithah Alam Islami. Bahkan Natsir
tidak mendapat izin untuk ke Malaysia menerima gelar doktor kehormatan dari
Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Pulau Pinang.
Di balik kritik yang ia lancarkan, ia tetap bersikap santun.
Misalnya pada beberapa kali perayaan Idul Fitri, ia selalu saja hadir dalam
acara silaturahmi di kediaman Soeharto di Cendana, meskipun keberadaannya
seringkali tidak ditanggapi oleh Soeharto saat itu.
Bahkan bukan hanya bersikap santun, ia secara sadar juga turut
membantu pemerintahan Orde Baru untuk kepentingan pemerintah sendiri. Misalnya,
ia membantu mengontak pemerintah Kuwait agar dapat menanam modal di Indonesia
dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun
ekonomi.
Bangsa ini berdiri
karena para founding fathers yang toleran dan penuh empati ...
Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Masyumi setelah Mohammad Natsir,
hidup sangat sederhana bahkan tak punya rumah. Ketua Umum Partai Katolik
Indonesia, IJ Kasimo berinisiatif menginisiasi urunan untuk membelikan rumah
bagi Prawoto.
Bangsa ini besar karena
kesederhanaan pemimpinnya.
Bung Hatta pernah punya mimpi untuk membeli sepatu Bally. Dia
menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Ia kemudian menabung,
mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit agar bisa membeli sepatu idaman
tersebut.
Namun, apa yang terjadi ?
Ternyata
uang tabungan tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Uang
tabungannya terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu
orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Alhasil, keinginan
Bung Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga
akhir hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat,
guntingan iklan sepatu Bally tersebut masih tersimpan dengan baik.
Bangsa ini kokoh karena
pemimpinnya menjunjung fairness ...
Ketika hubungan Soekarno dan Hatta merenggang, beberapa orang yang
pro Soekarno tidak mencantumkan nama Hatta pada teks proklamasi. Soekarno
dengan marah menegur, “Orang boleh benci
pada seseorang ! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta !! Tapi
menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut !!!”.
Hari ini kita menentukan
apakah bangsa ini jadi pemenang atau pengecut.
Jadi besar atau kerdil.
Jadi pemaaf atau
pendendam.
Jadi penuh empati atau
suka menghakimi.
Jadi penyebar damai atau
penebar fitnah.
Yang akan menentukan masa depan bangsa ini bukan hanya siapa yang
terpilih, tapi juga bagaimana sikap pendukungnya.
Bukan hanya menghargai siapa yang menang, tapi juga mengapresiasi
mereka yang berjiwa besar menyikapi kekalahannya.
SELAMAT HARI KEMERDEKAAN
INDONESIA KE 71... Merdeka!!!
kutipan dari tulisan:
Komarudin Hidayat