Perang Dagang China VS USA

Hub dagang US China tidaklah sesederhana spt yg digambarkan dlm blog. Paling tidak harus dilakukan studi pustaka utk kajian strategis ilmiah utk angkat tema tingkat tinggi soal hub dagang US China. Tanpa itu, sayang sekali, kalau artikel hanyalah spekulasi dan berpotensi menyesatkan.
Perang dagang antara US China bukanlah hal baru dan mulai menarik perhatian setelah China mulai buka diri dlm perdagangan internasional dan sejak US alami defisit terus menerus selama 31 thn mulai 1985 sebesar USD 6jt sampai rekor tertinggi USD 365,7milyar pd 2015. Pertanyaannya, apakah selama 31 thn itu tak ada satupun Presiden US yg berusaha memperkecil defisit. Ada 3 presiden asal Republik dan 2 asal Demokrat yg telah menjabat. Apakah semuanya gagal? Dan hanya Trump yg akan sanggup memperkecil defisit bahkan surplus hanya dengan menaikkan tarif masuk 45℅. Apakah semudah itu? US pernah melakukan upaya Anti Dumping shg produk China tidak bisa masuk ke US. Apakah kemudian negara seperti Indonesia kemudian kebanjiran produk China? Jawabannya ya namun dlm skala terbatas. Produk China ke pasar US adalah produk dgn mutu tertinggi dan jelas mahal bagi kantong masyarakat Indonesia. China tidak bisa serta merta memasarkan produk yg gagal masuk US ke Indonesia, itu terlalu meremehkan prinsip ekonomi dan pemasaran. Pasar Indonesia sendiri sudah terbuka bagi produk China akibat perjanjian dagang timbal balik shg walau tanpa masalah di US, Indonesia sudah kebanjiran produk China yg biasanya dianggap bermutu lebih rendah daripada misalnya produk Jepang. Ingat ilmu ekonomi punya prinsip dan jalan sendiri dan tidak tergantung perasaan atau emosi atau sentimentil seseorang baik Trump atau penulis artikel. Menurut Office of US Trade Representative, impor tertinggi US dr China berupa mesin listrik, mesin, furnitur, perlengkapan tidur, mainan anak, peralatan olahraga, dan sepatu. Sedangkan ekspor tertinggi adalah pesawat terbang, mesin listrik, mesin, biji2an, kedelai, dan jasa. Dilaporkan oleh CNN Money pd 17 Nov 2016 bahwa Rhodium Group mencatat investasi perusahaan US di China sejak 1990 mencapai USD 225milyar pd 2014 sedangkan perusahan China di US hanya USD 65milyar.
Analis perkirakan ini yg akan terjadi bila produk China dikenakan tarif masuk 45℅:
1)kenyataannya ratusan perusahaan/ investor US beroperasi atau menanamkan modalnya di China antara lain krn tenaga kerja yg murah. Inilah prinsip ekonomi yg tak bisa ditahan bahkan oleh seorang Trump.
Ambil contoh bagaimana industri sepatu seperti Nike berada di Indonesia. Nike paling tidak alami 3 fase sejarah perjalanan krn harus ikut prinsip dasar ekonomi. Fase pertama, Nike jelas bermula dari US. Namun peningkatan luar biasa kesejahteraan membuat tenaga kerja US terlalu mahal bagi industri sepatu yg notabene labor intensified (padat karya), shg sesuai prinsip ekonomi (biaya operasional yg lebih murah demi memenangkan kompetisi) pd 1970 harus merelokasi ke negara lain dgn upah tenaga kerja lebih murah yaitu Korea Selatan dan Taiwan yg menjadi fase kedua sejarah hidup Nike. Dua negara inipun bernasib sama, upah tenaga kerja meroket. Kembali prinsip ekonomi bekerja yg membuat Nike masuk dlm fase ketiga perjalanannya, relokasi ke Indonesia. Investor Korea yg masih pegang lisensi Nike datang dan mendirikan pabrik sepatu terutama di Tangerang mulai 1980an. Pengusaha Indonesia sendiripun berusaha mendekati Nike dan berhasil mendapat lisensi produksi Nike spt Grup Hasi milik Hartarti Murdaya. Saat ini, kelihatannya, fase keempat sedang berjalan, relokasi industri sepatu ke negara dgn resiko usaha lebih rendah. Beberapa investor sepatu termasuk investor Indonesia mulai mengalihkan pabriknya ke Vietnam dan China krn melihat stabilitas keamanan dan politik yg semakin rendah. Banyaknya unjuk rasa buruh, premanisme, pungutan liar, perijinan yg tumpang tindih, arah kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak jelas dan diabaikan membuat Vietnam dan China menjadi sasaran relokasi. Sekali lagi, inilah prinsip ekonomi.
Menurut Kimberly Amadeo dlm tulisan pd Oktober 2016 di portal www.thebalance.com, perusahaan di US banyak me
ngirim bahan ke China utk kemudian diproses lebih lanjut atau dirakit dgn harga murah di China, setelah selesai dikirim kembali ke US namun dihitung sbg impor oleh kepabeanan US. Faktanya, ekspor dan impor terbesar US China di luar pesawat terbang (Boeing) adalah mesin listrik dan permesinan. Jadi pengusaha US kirim barang2 terurai permesinan ke China yg kemudian merakit atau memberi tambahan proses, setelah itu kirim kembali ke US. Jadi paling tidak ada ratusan pengusaha US yg sangat tergantung dari China dan dibalik itu ada ribuan pekerja US yg hidup dari transaksi semacam ini.
Jelas ada lobby kuat yg akan dihadapi Trump bila akan kesampingkan mereka dgn menerapkan tarif yg membuat produk mereka susah masuk atau bersaing di US? Artinya, bukan Trump melawan China tapi Trump melawan pengusaha US yg memanfaatkan tenaga kerja murah dan proses produksi tambahan yg juga murah.
2)pasar US telah 30 tahun menikmati barang asal China dgn harga murah shg inflasi US relatif rendah. Dgn terapkan tarif 45℅ otomatis produk di pasar US menjadi super mahal dan akibatkan inflasi seketika yg mungkin bisa menggoyang perekonomian US.
3)Trump harapkan adanya multiplier effect dari tarif tinggi di mana pengusaha US menarik modalnya dr China dan membuka pabrik di US sendiri dan menciptakan lapangan kerja. Sayangnya peralihan seperti itu tidak akan seketika didapat krn banyak studi kelayakan yg harus dilakukan atau pengusaha akan 'wait and see' antara lain memperhitungkan masa depan kebijakan tarif tinggi yg sewaktu-waktu bisa dicabut krn lebih banyak mudarat daripada manfaatnya apalagi diputuskan oleh Presiden yg sudah berumur 70 thn (apakah sanggup menjalani periodenya sampai 2 kali..?) dan merupakan putusan spontan demi jargon kampanye tanpa analisa dan dasar yg kuat. Jadi multiplier effect mungkin baru bisa dirasakan setelah 5 tahun itupun kalau ada konsistensi kebijakan.
4)tindakan balasan dr China. Pada 2009, Obama naikkan tarif masuk ban asal China dgn tuduhan dumping dan China membalas dgn naikkan tarif daging ayam dr US.  Kenyataannya, menurut David Dollar, mantan analis perdagangan DepKeu US, China terlalu besar utk dihentikan dgn hanya menaikkan tarif dan China selalu ambil tindakan balasan setimpal yg akan menurunkan ekspor US besar2an. Perusahaan US akan rontok krn produknya menjadi sangat mahal di China dan order pesawat spt Boeing akan dibatalkan oleh pemerintah China dan beralih ke Airbus. Ribuan atau jutaan tenaga kerja di US akan menjadi pengangguran. Semula tujuan Trump utk berikan lapangan kerja kepada rakyat US lewat multiplier effect dari kebijakan tarif tinggi, yg terjadi bisa sebaliknya, jumlah pengangguran bertambah luar biasa. Hal ini dapat seketika terjadi.
5)catatan US Treasury Office, sampai Agustus 2016, China telah membeli SUN US sebesar USD 2.185trilyun menjadikan China menguasai 30℅ dr total hutang US kepada negara asing. Setiap tahun pemerintah US harus membayarkan kupon bunga kepada China 2-3℅ senilai USD 40-60milyar dan US belum pernah default dlm pembayaran. Bila perekonomian US terkontraksi krn perang dagang dgn China, apakah US kemudian sanggup bayar kewajibannya terutama kpd China? Bila terjadi gagal bayar mk China dpt mulai menentukan persyaratan dlm negosiasi jatuh tempo. Perekonomian US sudah terlalu terikat dgn kondisi perekonomian global dan pemodal besar spt China sudah terlanjur ikut secara aktif dlm menentukan kondisi kesehatan ekonomi US. Sudah terlambat utk menghalau pergi China. Presiden2 sebelum Trump mungkin berpendapat, daripada berusaha perang, mengapa tidak mencoba memanfaatkan China utk kemajuan ekonomi US. Hal penting yg tidak dimiliki US saat ini adalah biaya tenaga kerja terampil yg murah dan stabilitas berusaha (tak ada pergerakan serikat pekerja dll).
Dlm prakteknya, peraturan tarif masuk tinggi atau larangan masuk produk China biasanya dilakukan dlm skema Anti Dumping. Skema tsb bukannya selalu membawa dampak negatif bagi Indonesia. Kenyataannya, perusahaan China berusaha mencari partner di negara lain termasuk Imdonesia atau pengusaha Indonesia yg tanggap atas situasi menawarka
n partnership utk lakukan proses produksi dan mengirim ke pasar US lewat Indonesia atau Singapura (walau proses produksi di Indonesia). Hal ini membawa keuntungan bagi Indonesia krn masuknya investasi dr China. Praktek ini telah dilakukan banyak perusahaan sewaktu peraturan Anti Dumping dan tarif tinggi dilaksanakan oleh US namun kurang mencuat ke permukaan.
Kunjungan Presiden Jokowi ke China jelas sangat tepat dan strategis. Negara mana yg saat ini tidak berdagang dgn China dan US, sebagai kekuatan ekonomi terbesar pertama dan kedua. Apalagi kedua negara tsb memiliki kekuatan bersenjata juga terbesar pertama dan kedua dan secara khusus China punya masalah laten konflik di Laut Cina Selatan.
Akhir kata, melakukan analisa rencana Trump utk mengenakan tarif 45℅ dlm konteks perang dagang US China dgn menghubungkan secara serampangan beberapa kejadian tanpa ada analisa ilmiah akan membawa kesesatan. Hal ini patut disesali.